Naluri dan Nalari
Matahari bersinar terang. Sinar keemasan yang membungkusnya menyorot. Memberi kehangatan pada sebuah rumah sederhana berkusen cokelat tua. Warna yang tidak berkilau karena sudah pudar dimakan usia.
"Nalar, Nalur...sarapan dulu," kata seorang perempuan berusia tiga puluhan sembari tersenyum pada kedua anaknya.
Di atas meja makan, ia menghidangkan nasi goreng. aromanya sangat harum. mengundang lidah untuk segera memakannya. Naluri yang telah selesai mengikat tali sepatu bergegas menghampiri.
Anak kelas emapt SD itu berdecap saat mencicipi sedikit nasi goreng buatan mak. Naluri memberi isyarat jempol pada mak, kemudian menoleh pada Nalari, saudara kandungnya yang masih sibuk mengikat tal sepatu.
Tanpa sadar, Naluri melirik mak. Ada tarikan napas kecil, tapi segera ditutupi dengan senyum.
"Nalar, ayo makan. Nanti keburu dingin,loh. Jadi tidak enak, iya kan, Mak?" ujar Naluri mencairkan suasana.
Mak memberi anggukan. Nalari tidak peduli. Wajahnya tetap masam dan cemberut.
"Nalar, sarapan dulu. Nanti perutnya sakit kalau tidak makan."
"Iya, terus tidak bisa sekolah deh," sambung Naluri sambil melahap nasi goreng.
Nalari yang sempat melihatnya jadi menelan ludah. Sesungguhnya, ia sangat ingin merasakan lezatnya nasi goreng buatan mak yang sangat menggelitik indra penciumannya.
Nalari mendengus. Memalingkan muka. Ketika matanya menatap kaki mak yang besar dan bengkak, seketika perutnya mendadak mual.
"Nalar, mau kemana?!" seru mak, kaget.
Naluri yang sedang asyik sarapan ikut terkejut. Buru-buru ia beringsut, menyusul Nalari keluar.
"Ada apa?" tanya Naluri melihat Nalari terduduk membuang ludah.
Nalari menoleh sebentar.
"Aku tidak mau sarapan!" tukasnya, tajam.
"Kamu kenapa? Sakit?"
Naluri memijat punggung Nalari yang terbatuk-batuk.
"Pokoknya, aku tidak mau sarapan!" pekiknya meninggi.
"Sudah! Ayo berangkat sekolah. Sudah siang!"
Nalari bangkit berdiri. Naluri masih bengong.
"Kamu berangkat sekolah, tidak?" sentak Nalari.
"Kenapa kamu tidak mau sarapan dulu?" tanya Naluri masih penasaran.
Mereka beradu pandang.
"Karena nasi gorengnya tidak enak, ya?"
Nalari diam.
"Atau bosan, karena nasi goreng melulu?"
Nalari tetap diam. Naluri bingung.
"Kok tidak dijawab-jawab?"
"Karena aku tidak mau kena penyakit kutukan!"
Naluri terhenyak mendengarnya. Mulutnya melomgo. Memelototi wajah oval saudaranya.
"Kamu bicara apa?"
"Sudah! Kita tidak perlu bicara soal ini lagi!" kata Nalari sambil berlalu dari hadapan Naluri.
"Tunggu!"
Nalari berhenti melangkah. Ia tidak menoleh.
"Kita belum salaman sama mak," ingat Naluri.
Nalari menggelengkan kepala.
"Kamu saja yang salaman!"
"Tunggu! Jangan buru-buru, dong. Sabar sedikit kenapa? Aku tadi kan belum sempat minum."
Usai berkata, Naluri langsung masuk rumah. Hampir saja ia menabrak tubuh mak yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. Memerhatikan apa yang dibicarakan oleh kedua anaknya.
"Oh, Mak!" pekik Naluri, kaget.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar